Wahabisme dan Tahlilan Delegasi Amirul Haj di Thaif dan Uhud

By Admin

nusakini.com--Saat menginjakkan kaki kali pertama di tanah suci untuk umrah pada 1997, alhamdulillah saya masih bisa melihat jejak parit besar yang dibangun Rasulullah Muhammad SAW lebih dari 1400 tahun lalu. Parit ini sengaja digali mengelilingi Madinah untuk melindungi kota itu dari gempuran 10.000 tentara Quraisy, Ghatafan dan sekutunya dalam Perang Ahzab di tahun 5 Hijriah atau 627 Masehi. Arsitek penggalian parit itu adalah Salman Al-Farisi, pemuda Iran yang masuk Islam di zaman Nabi. 

Tahun 2000, ketika saya berhaji, warisan budaya (heritage) internasional itu sudah tiada. Sejumlah sumber yang saya tanya mengatakan, parit itu sengaja diuruk oleh Kerajaan Arab Saudi. Penguasa jazirah ini tak mau rakyatnya, juga para jamaah haji yang datang ke negeri gurun ini, mengultuskan tempat-tempat bersejarah semacam parit raksasa itu. Aliran Wahabi yang dianut oleh Kerajaan Arab Saudi memang melarang umat Islam di mana pun berada mengultuskan orang-orang suci, memperlakukan kuburan orang-orang saleh secara berlebihan, atau menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah. 

Karena itu wajar jika jutaan jamaah haji tidak bisa menemukan batu nisan Khalifah Usman bin Affan di Baqi, komplek kuburan di sebelah Masjid Nabawi di Madinah, atau batu nisan sayyiduna Hamzah di pemakaman Uhud, Madinah, atau batu nisan Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Hanafiah, dan Uswah bin Mas’ud di Thaif.

Di Baqi dan di Uhud orang cuma bisa melihat tanah lapang yang diberi pagar sambil disuruh yakin bahwa lapangan itu memang kuburan. Jangan harap mereka melihat batu nisan, apalagi pohon Kamboja dan bunga mawar yang ditebar. Semuanya lapangan berpasir. Di Thaif lebih parah. Jangan harap orang melihat kuburan orang-orang saleh itu, bahkan tembok pembatas pemakaman itu pun disamarkan seolah tembok sebuah gedung.     

Baik di pagar perkuburan Uhud maupun di tembok pemakan Thaif terpasang pengumuman yang intinya menyatakan bahwa kematian adalah hal yang pasti, orang yang sudah wafat tak bisa dimintai pertolongan, lalu di akhir pengumuman ditegaskan bahwa hanya Allah yang layak disembah. Di Uhud bahkan ada beberapa asykar berbaju coklat yang selalu berteriak ‘’ya hajj ..., ya hajj ..., maqbarah ...maqbarah ...’’ kepada orang-orang yang agak lama berkerumun di balik pagar kuburan sambil angkat tangan. Tugas mereka memang mengusir orang-orang yang diduga meminta-minta pada kuburan atau mengultuskan kuburan lewat cara mereka berdoa di depan kuburan. 

Di tengah kuatnya fenomena Wahabisme mewarnai kehidupan masyarakat Arab saat ini, sebagian delegasi amirul hajj Indonesia 2018 justru membaca tahlilan di depan kuburan Ibnu Abbas di Thaif dan di depan makam Hamzah di Uhud. Awalnya, ketika kyai Masduki Baidlowi mengajak anggota delegasi lain bertahlilan di depan kuburan Ibnu Abbas, saya tertawa. Saya pikir ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi salah satu anggota delegasi amirul haj ini bercanda.

Tapi, begitu tahlilan benar-benar dilaksanakan dan dipimpin oleh Habib Ahmad bin Muhammad Al-Attas, saya tidak jadi tertawa. Saya malah khusyuk tenggelam dalam doa-doa dan alfatihah yang dibacakan untuk ‘’ruh orang ini’’ dan ‘’ruh orang itu’’ seperti yang sering kita dengar dalam doa-doa tahlilan di bumi Nusantara – doa yang tak mungkin dilakukan penganut Wahabi! 

Maka, ditingkahi angin Thaif yang sepoi-sepoi dan sejuk dari Gunung Hada, saya dan beberapa anggota delegasi amirul haj tenggelam dalam tahlilan sambil berdiri. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin hanya melihat kami dari jauh hingga tahlilan selesai. ‘’Ini bukan guyon. Ini perlawanan atas hegemoni!,’’ kata saya dalam hati usai kami semua menyebut kata ‘’amin’’ terakhir untuk penutup doa.  

Dalam hati saya bergumam, ketua Maktab Daimi Rabithah Alawiyyah ini adalah keturunan Arab. Darah yang mengalir di tubuhnya jelas darah orang Arab. Tapi, karena Habib Ahmad lahir di Indonesia, pandangan dan alirannya pun jadi berbeda dengan aliran orang-orang berdarah Arab yang lahir dan tinggal di negeri Arab ini. 

Di Uhud, beberapa hari setelah kami bertahlilan di Thaif, sekali lagi delegasi amirul haj menggelar tahlilan. Kyai Yahya Cholil Staquf, katib Aam PBNU yang juga menjadi wakil amirul hajj, kali ini memimpin doa tahlil. Kami berdiri di luar pagar makam sayyiduna Hamzah dan para syuhada lain saat bertahlilan, ketika matahari sangat terik dan suhu mencapai 44 derajat Celcius. Asykar yang biasanya rewel jika melihat kerumunan kami berdoa lama-lama siang itu tak terlihat.

Siapakah kerumunan itu? Mereka adalah orang-orang penting di Indonesia: Sekretaris amirul haj Prof. Dr. KH Muhammad Isom (Kemenag), dua stafnya Khoirul Huda Basyir dan Abdullah Faqih (Kemenag), Masduki Baidlowi, Ahmad Sadeli Karim (Ketum PB Mathlaul Anwar), dan KH Masjured Munawir (YPI Al-Muttaqien). Satu anggota lain, KH Rusli Effendi (Sekretaris PB Al-Washliyah), menunggu di mobil karena sedang meriang.   

Perlawanan kultural terhadap paham Wahabi ini, menurut saya, harus diabadikan dalam tulisan, sesingkat apa pun. Saya berani bersumpah bahwa tak satu pun di antara kami menyembah kuburan seperti yang dikhawatirkan kalangan Wahabis. Apa hak mereka sebenarnya membaca hati kami bahwa jika kami berdoa berlama-lama di depan kuburan berarti kami menyembah kuburan?

Orang-orang yang pernah menuduh Kyai Yahya Staquf pro Israel dan kurang kadar keislamannya hanya gara-gara dia memenuhi undangan pemerintah Israel beberapa waktu lalu juga harus mencabut tuduhannya. Dari mana mereka tahu kadar keislaman Kyai Yahya menurun, padahal saya saksikan sendiri ia tenggelam dalam doa-doa khusyuk kepada Allah SWT untuk sayyiduna Hamzah dan syuhada Uhud lainnya? 

Aliran Wahabi berkembang dari Muhammad bin Abdul Wahab, seorang teolog Muslim abad ke-18 yang berasal dari Najd, Arab Saudi. Banyak orang menilai aliran ini ultrakonservatif, keras, atau puritan. Saat ini Wahhabisme merupakan aliran Islam yang dominan di Arab Saudi dan Qatar. Aliran ini dapat berkembang di dunia Islam melalui pendanaan masjid, sekolah dan program sosial. 

Ke Indonesia, paham Wahabi masuk kali pertama pada awal abad ke-19. Hubungan antara ajaran kaum Wahabi dengan orang-orang Minangkabau di Sumatera Barat dimulai ketika tiga serangkai -- Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang -- baru pulang haji pada 1803. Perjalanan haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Makkah oleh kaum Wahabi. Itu terlihat dari penentangan mereka terhadap praktek yang dianggap bid’ah, penggunaan tembakau, baik untuk sirih pinang maupun merokok, dan pemakaian baju sutra. 

Ketiga tokoh itu berusaha keras menyebarkan ajaran ini secara paksa di wilayah Minangkabau. Ketiganya lalu mengumumkan jihad melawan kaum Muslim lain yang tidak mau mengikuti ajaran mereka. Tokoh Tuanku Nan Renceh, didukung kaum Paderi, lalu melawan golongan adat dan kaum bangsawan Minang yang masih menjalankan praktik-praktik yang mereka anggap bertentangan dengan Islam.

Akibatnya sering kita baca di buku sejarah waktu kita duduk di bangku sekolah dasar: perang saudara yang dikenang sebagai ‘’Perang Paderi’’ itu pecah di tengah masyarakat Minangkabau menewaskan banyak korban jiwa! 

Saya masih di tanah suci Makkah saat menulis kisah tahlilan di Thaif dan Uhud versus Wahabisme ini. Tiba-tiba saya bergidik mengingat dahsyatnya ‘’Perang Paderi’’ jika perang serupa yang lebih besar terjadi lagi di bumi Indonesia tercinta. 

Helmi Hidayat, Konsultan Ibadah Haji, PPIH Arab Saudi; Dosen UIN Jakarta